TRANSGENDER DARI PERSPEKTIF HUKUM
PERKAWINAN
Oleh:
Nova Sukardianto, S.H., M.H.
Negara
Hukum ialah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada
warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup
untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan
rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik.
Demikian pula peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum
itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga negaranya. (Moh.
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim (1998, 153).
A.
Mukthie Fadjar (2018, 101) memberikan defenisi negara hukum sebagai negara yang
susunannya diatur dengan sebaik-baiknya dalam undang-undang, sehingga segala
kekuasaan dari alat-alat pemerintahannya didasarkan atas hukum. Negara hukum
ialah negara yang diperintahi bukan oleh orang-orang, tetapi oleh undang-undang
(state the not governed by men, but by
laws). Karena itu, didalam negara hukum, hak-hak rakyat dijamin sepenuhnya
oleh negara dan, sebaliknya, terhadap negara, rakyat wajib memenuhi seluruh
kewajibannya dengan tunduk dan taat pada segala peraturan pemerintah dan
undang-undang negara.
Selanjutnya
dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Repulik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945) Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Yang mengandung pengertian
bahwa segala tatanan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
didasarkan atas hukum yang berlaku.
Begitu
juga dengan Perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan juncto Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (UU Perkawinan). Dalam ketentuan pasal 1 UU Perkawinan menerangkan
bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Jika
dilihat dari isi pasal 1 UU Perkawinan ini maka dapat diuraikan paling tidak 4
(empat) unsur, diantaranya:
-
Perkawinan
adalah ikatan lahir batin;
-
Antara
seorang pria dan serang wanita sebagai suami istri;
-
Tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia;
-
Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa;
Kemudian
penjelasan dari unsur-unsur diatas adalah sebagai berikut:
Perkawinan adalah ikatan
lahir batin
Dapat
diartikan perkawinan yang dilangsungkan tersebut mempunyai hubungan yang sangat
erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan hanya mempunyai
unsur lahir/jasmani, akan tepapi juga unsur batin/rohani;
Antara seorang pria dan
serang wanita sebagai suami istri
Perkawinan
itu hanya bisa dilangsungkan antara seorang pria dengan seorang wanita dengan
seorang, hal ini berkaitan dengan unsur berikutnya yaitu tujuan perkawinan itu
sendiri;
Tujuan membentuk
keluarga atau rumah tangga yang bahagia
Tujuan
dari perkawinan itu adalah membentuk keluarga, yang mana didalam keluarga ada
ayah, ada ibu dan ada anak. Dalam artian tujuan dari perkawinan itu adalah
untuk melanjutkan keturunan;
Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa
Negara
Indonesia merupakan hukum yang
berketuhanan yang menjamin setiap pemeluk agama menjalankan agamanya, begitu
juga dengan perkawinan bagi yang beragama Islam melaksanakan perkawinan secara
Islam, yang beragama Kristen melaksanakan secara Kristen dan begitu juga dengan
agama lain Khatolik, Hindu, Budha dan Konghucu melaksanakan perkawinan menurut
agama masing-masing.
Berdasarkan
unsur-unsur Pasal sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa perkawinan itu hanya boleh dilaksanakan antara seorang pria dengan
seorang wanita yang seagama sesuai dengan hukum dan/atau tuntunan dan tata cara
masing-masing agama guna melanjukan keturunan.
Kemudian
mucul pertanyaan bagaimana dengan perkawinan Transgender dan/atau orang yang
mengubah jenis kelamin?
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan juncto Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan Pasal 56
Ayat 1 menyatakan Pencatatan Peristiwa Penting lainnya dilakukan oleh Pejabat
Pencatatan Sipil atas permintaan Penduduk yang bersangkutan setelah adanya
putusan pengadilan negeri yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Penjelasan
Pasal 56 Ayat 1 ini adalah yang dimaksud dengan “Peristiwa Penting lainnya”
adalah peristiwa yang ditetapkan oleh pengadilan negeri untuk dicatatkan pada
instansi Pelaksana, antara lain perubahan
jenis kelamin.
Pasal
56 Ayat 1 Undang-Undang Administrasi Kependudukan ini seakan menjadi peluang
dan/atau celah bagi komunitas LGBT untuk melakukan perkawinan sejenis.
Jika
dilihat dari UU Perkawinan, perkawinan Transgender tetaplah tidak sah. Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya
itu (Pasal 2 Ayat 1 UU Perkawinan).
Sah
atau tidaknya suatu perkawinan oleh Undang-undang dikembalikan lagi kepada
ajaran agama masing-masing, dalam artian yang beragama Islam sah menikah sesuai
dengan ajaran agama Islam begitu juga dengan penganut agama lainnya sah apabila
dilakukan menurut tuntunan dan tata cara agamanya masing-masing.
Jika
dilihat dari perspektif hukum, maka perkawinan Transgender dan/atau orang yang
mengubah jenis kelaminnya tidaklah sah, karena bertentangan dengan UU Perkawinan
dan UUD Tahun 1945 BAB XI Tentang Agama Pasal 29, menerangkan bahwa: Negara
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa; Negara Menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.