Selasa, 22 Agustus 2023

Keabsahan Perkawinan Transgender

 

TRANSGENDER DARI PERSPEKTIF HUKUM PERKAWINAN

Oleh:

Nova Sukardianto, S.H., M.H.

 

Negara Hukum ialah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga negaranya. (Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim (1998, 153).

A. Mukthie Fadjar (2018, 101) memberikan defenisi negara hukum sebagai negara yang susunannya diatur dengan sebaik-baiknya dalam undang-undang, sehingga segala kekuasaan dari alat-alat pemerintahannya didasarkan atas hukum. Negara hukum ialah negara yang diperintahi bukan oleh orang-orang, tetapi oleh undang-undang (state the not governed by men, but by laws). Karena itu, didalam negara hukum, hak-hak rakyat dijamin sepenuhnya oleh negara dan, sebaliknya, terhadap negara, rakyat wajib memenuhi seluruh kewajibannya dengan tunduk dan taat pada segala peraturan pemerintah dan undang-undang negara.

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Repulik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Yang mengandung pengertian bahwa segala tatanan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara didasarkan atas hukum yang berlaku.

Begitu juga dengan Perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan juncto Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Dalam ketentuan pasal 1 UU Perkawinan menerangkan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Jika dilihat dari isi pasal 1 UU Perkawinan ini maka dapat diuraikan paling tidak 4 (empat) unsur, diantaranya:

-        Perkawinan adalah ikatan lahir batin;

-        Antara seorang pria dan serang wanita sebagai suami istri;

-        Tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia;

-        Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;

Kemudian penjelasan dari unsur-unsur diatas adalah sebagai berikut:

Perkawinan adalah ikatan lahir batin

Dapat diartikan perkawinan yang dilangsungkan tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan hanya mempunyai unsur lahir/jasmani, akan tepapi juga unsur batin/rohani;

Antara seorang pria dan serang wanita sebagai suami istri

Perkawinan itu hanya bisa dilangsungkan antara seorang pria dengan seorang wanita dengan seorang, hal ini berkaitan dengan unsur berikutnya yaitu tujuan perkawinan itu sendiri;

Tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia

Tujuan dari perkawinan itu adalah membentuk keluarga, yang mana didalam keluarga ada ayah, ada ibu dan ada anak. Dalam artian tujuan dari perkawinan itu adalah untuk melanjutkan keturunan;

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Negara Indonesia merupakan  hukum yang berketuhanan yang menjamin setiap pemeluk agama menjalankan agamanya, begitu juga dengan perkawinan bagi yang beragama Islam melaksanakan perkawinan secara Islam, yang beragama Kristen melaksanakan secara Kristen dan begitu juga dengan agama lain Khatolik, Hindu, Budha dan Konghucu melaksanakan perkawinan menurut agama masing-masing.

Berdasarkan unsur-unsur Pasal sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perkawinan itu hanya boleh dilaksanakan antara seorang pria dengan seorang wanita yang seagama sesuai dengan hukum dan/atau tuntunan dan tata cara masing-masing agama guna melanjukan keturunan.

Kemudian mucul pertanyaan bagaimana dengan perkawinan Transgender dan/atau orang yang mengubah jenis kelamin?

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan juncto Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan Pasal 56 Ayat 1 menyatakan Pencatatan Peristiwa Penting lainnya dilakukan oleh Pejabat Pencatatan Sipil atas permintaan Penduduk yang bersangkutan setelah adanya putusan pengadilan negeri yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Penjelasan Pasal 56 Ayat 1 ini adalah yang dimaksud dengan “Peristiwa Penting lainnya” adalah peristiwa yang ditetapkan oleh pengadilan negeri untuk dicatatkan pada instansi Pelaksana, antara lain perubahan jenis kelamin.

Pasal 56 Ayat 1 Undang-Undang Administrasi Kependudukan ini seakan menjadi peluang dan/atau celah bagi komunitas LGBT untuk melakukan perkawinan sejenis.

Jika dilihat dari UU Perkawinan, perkawinan Transgender tetaplah tidak sah. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu (Pasal 2 Ayat 1 UU Perkawinan).

Sah atau tidaknya suatu perkawinan oleh Undang-undang dikembalikan lagi kepada ajaran agama masing-masing, dalam artian yang beragama Islam sah menikah sesuai dengan ajaran agama Islam begitu juga dengan penganut agama lainnya sah apabila dilakukan menurut tuntunan dan tata cara agamanya masing-masing.

Jika dilihat dari perspektif hukum, maka perkawinan Transgender dan/atau orang yang mengubah jenis kelaminnya tidaklah sah, karena bertentangan dengan UU Perkawinan dan UUD Tahun 1945 BAB XI Tentang Agama Pasal 29, menerangkan bahwa: Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa; Negara Menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Senin, 07 Agustus 2023

LGBT Ditinjau Dari Perspektif Hukum Perkawinan

 

LGBT Ditinjau Dari Perspektif Hukum Perkawinan

Oleh

Nova Sukardianto, S.H., M.H.

Beberapa negara barat telah melegalkan perkawinan sejenis yaitu perkawinan antara laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan dan praktik seksual menyimpang lainnya yang lebih dikenal dengan Lesbi, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT).

Prilaku seksual yang menyimpang ini oleh dunia barat dianggap hal biasa yang merupakan ekspresi kebebasan setiap individu, dengan dalih kemanusiaan dan/atau Hak Asasi Manusia (HAM), mereka menganggap LGBT tersebut suatu entitas yang harus diakui keberadaannya dan dijamin hak-haknya.

Dengan diakui keberadaan dan dilegalkannya praktik seksual yang menyimpang tersebut oleh dunia barat, membuat kekhawatiran di tengah masyarakat, dengan pertanyaan yang mendasar. Apakah LGBT akan legal dan/atau dilegalkan di Indonesia?

Kekhawatiran tersebut dirasa wajar mengingat Negara Indonesia merupakan Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 29 Ayat 1 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945), yang dapat diartikan melarang ketidak percayaan kepada Tuhan serta menjamin setiap pemeluk agama mejalankan agamanya. Dalam perspektif agama yang diakui di Indonesia tidak ada satupun ajaran agama yang ada di Indonesia membenarkan praktik seksual yang menyimpang sebagaimana LGBT tersebut.

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan Negara Indonesia adalah Negara Hukum, yang mengandung pengertian bahwa segala tatanan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara didasarkan atas hukum yang berlaku.

Jika dilihat dari segi hukum Perkawinan, LGBT tersebut telah mengingkari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juncto Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam ketentuan pasal 1 UU Perkawinan menerangkan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Jika dilihat dari isi pasal 1 UU Perkawinan ini maka dapat diuraikan paling tidak 4 (empat) unsur, diantaranya:

-        Perkawinan adalah ikatan lahir batin;

-        Antara seorang pria dan serang wanita sebagai suami istri;

-        Tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia;

-        Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;

Kemudian penjelasan dari unsur-unsur diatas adalah sebagai berikut:

Perkawinan adalah ikatan lahir batin

Dapat diartikan perkawinan yang dilangsungkan tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan hanya mempunyai unsur lahir/jasmani, akan tepapi juga unsur batin/rohani;

Antara seorang pria dan serang wanita sebagai suami istri

Perkawinan itu hanya bisa dilangsungkan antara seorang pria dengan seorang wanita dengan seorang, hal ini berkaitan dengan unsur berikutnya yaitu tujuan perkawinan itu sendiri;

Tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia

Tujuan dari perkawinan itu adalah membentuk keluarga, yang mana didalam keluarga ada ayah, ada ibu dan ada anak. Dalam artian tujuan dari perkawinan itu adalah untuk melanjutkan keturunan;

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Negara Indonesia merupakan  hukum yang berketuhanan yang menjamin setiap pemeluk agama menjalankan agamanya, begitu juga dengan perkawinan bagi yang beragama Islam melaksanakan perkawinan secara Islam, yang beragama Kristen melaksanakan secara Kristen dan begitu juga dengan agama lain Khatolik, Hindu, Budha dan Konghucu melaksanakan perkawinan menurut agama masing-masing.

Berdasarkan unsur-unsur Pasal sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perkawinan itu hanya boleh dilaksanakan antara seorang pria dengan seorang wanita yang seagama sesuai dengan hukum dan/atau tuntunan dan tata cara masing-masing agama guna melanjukan keturunan. Kemudian ditegaskan dalam Pasal 2 Ayat 1 UU Perkawinan, bahwa Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.

Jika perkawinan yang dilakukan adalah perkawinan sesama jenis, maka secara agama tidak sah dan juga tidak sah secara negara dan dipastikan tidak akan bisa memberikan keturunan, kemudian muncul lagi  pertanyaan Apakah kelompok LGBT itu orang yang beragama?

Minggu, 11 September 2022

STATUS PERKAWINANMU..?

 

ITSBAT NIKAH (PENGESAHAN PERKAWINAN)

Oleh

Nova Sukardianto, S.H., M.H.


Perkawinan sah apabila dilangsungkan sesuai dengan aturan agama dan kepercayaan kemudian dicatatkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan.

Perkawinan dianggap sah secara agama atau kepercayaan tentu setelah memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan oleh masing-masing agama dan kepercayaan tersebut. Perkawinan sah secara agama atau kepercayaan saja tidak cukup dalam mengarungi bahtera rumah tangga, disamping sah secara agama perkawinan tersebut harus tercatat di lembaga pencatatan perkawinan. Lembaga pencatatan perkawinan bagi yang beragama Islam di Kantor Urusan Agama (KUA) sedangkan bagi yang beragama non-Islam di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil).

Pencatatan perkawinan ini sangatlah penting bagi kelangsungan kehidupan berumah tangga, karena pencatatan perkawinan merupakan bukti otentik terhadap peristiwa perkawinan itu sendiri dalam bentuk Buku Nikah/Akta Nikah. Banyak ditemukan di dalam kehidupan masyarakat perkawinan yang tidak tercatat.

Sebagian kecil dari masyarakat tidak begitu mementingkan pencatatan perkawinan, ada yang beranggapan yang penting perkawinannya sah secara agama. Anggapan seperti ini tentunya anggapan yang salah dan pada ujungnya akan merugikan dirinya sendiri serta anak keturunannya kelak.

Banyak kerugian yang akan diperoleh dari tidak dicatatkannya perkawinan, adapun kerugian tersebut diantaranya: 1. Secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak sah karena tidak ada bukti dari peristiwa perkawinan tersebut; 2. Apabila terjadi perceraian dari pasangan yang perkawinannya tidak tercatat tersebut tentu sangat sulit untuk mengklaim harta bersama atau gono gini; 3. Anak tidak berhak atas harta warisan orang tuanya (Ayah) yang perkawinanya tidak tercatat; 4. Apabila anak yang lahir perempuan maka Ayahnya tidak bisa menjadi wali nikah; 5. Anak laki-laki dari perkawinan yang tidak tercatat tidak bisa menjadi wali nikah adiknya yang perempuan; 6. Pandangan masyarakat terhadap perkawinan tidak tercatat kurang baik bahkan jika ada anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat tersebut akan dilebeli anak haram.

Lalu kemudian timbul pertanyaan bagaimana jika sudah terjadi perkawinan akan tetapi belum pernah tercatat di lembaga pencatatan perkawinan atau sudah dicatatkan (memiliki buku nikah) namun bodong?

Dalam menjawab pertanyaan tersebut, bagi masyarakat yang mengalami hal seperti diatas, maka dapat mengajukan permohonan Itsbat Nikah (permohonan pengesahan perkawinan) ke Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah.

Permohonan itsbat nikah dapat dilakukan oleh kedua suami istri atau salah satu dari suami istri, anak, wali nikah, dan pihak lain yang berkepentingan dengan perkawinan tersebut kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah dalam wilayah hukum pemohon bertempat tinggal, dan permohonan itsbat nikah harus dilengkapi dengan alasan dan kepentingan yang jelas serta konkrit.

Permohonan itsbat nikah memiliki dua sifat. Pertama, bersifat voluntair, produknya berupa penetapan, jika isi penetapan tersebut menolak permohonan itsbat nikah, maka suami istri bersama-sama atau masing-masing dapat mengajukan upaya hukum kasasi. Kedua, bersifat kontensius, permohonan itsbat nikah yang diajukan oleh salah satu pihak sebagai Pemohon dan menjadikan pihak lainnya sebagai termohon, produknya berupa putusan, dan terhadap putusan tersebut dapat diajukan upaya hukum banding dan kasasi.

 

Untuk info lebih lanjut dapat menghubungi kami pada:

Kantor Hukum NOVA SUKARDIANTO & PARTNERS

Jl. Dadap, Taman Yasmin, Kel. Curugmekar, Kec. Bogor Barat, Kota Bogor

HP/WA : 0812 6765 1140

Kamis, 23 Juni 2022

KEABSAHAN PERKAWINAN BEDA AGAMA

 

PERKAWINAN BEDA AGAMA

Oleh

Nova Sukardianto, S.H., M.H.



 

Hukum positif tidak mengenal istilah perkawinan beda agama dan bahkan melarang perkawinan beda agama, dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengizinkan perkawinan beda agama, hal ini secara tegas dan jelas dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwasannya perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Secara hukum, perkawinan beda agama tidak sah. Adapun perkawinan yang dilaksanakan oleh orang yang berbeda agama bisa dilaksanakan apabila salah satu pihak “menundukkan diri” kepada keyakinan pihak lainnya.

Terdapat pro dan kontra terhadap frasa “menundukkan diri” kepada keyakinan pihak lain, bagi yang pro terhadap perkawinan beda agama frasa “menundukkan diri” tersebut diartikan hanya tunduk terhadap prosesi perkawinan dan tidak mesti pindah keyakinan yang penting perkawinan mereka diakui dan bisa dicatatkan, sedangkan bagi yang kontra terhadap perkawinan beda agama frasa “menundukkan diri” merupakan pengakuan secara keimanan terhadap keyakinan pihak lain tersebut dan/atau telah berpindah keyakinan kepada keyakinan pihak lain tersebut.

Dalam hal ini kita harus memahami dan harus bisa membedakan antara sahnya perkawinan dengan pencatatan perkawinan. Sah atau tidaknya suatu perkawinan ini lebih kepada ketentuan agama dan kepercayaan seperti yang termaktub dalam Pasal 2 ayat (1) undang-undang Perkawinan, dalam perspektif Islam pekawinan sah apabila memenuhi rukun dan syarat sahnya perkawinan (Kompilasi Hukum Islam BAB IV Rukun dan Syarat Perkawinan).

Sedangkan pencatatan perkawinan merupakan bagian dari administrasi kependudukan yang harus dilaksanakan oleh tiap-tiap orang yang melangsungkan perkawinan hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan yang menyatakan bahwa Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pencatatan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan kemudian diatur lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan yang menjelaskan bahwa:

1)     Perkawinan yang sah menurut Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan;

2)     Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan;

3)     Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing-masing diberikan kepada suami dan istri;

4)     Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang beragama Islam dilakukan oleh KUAKec;

5)     Data hasil pencatatan atas peristiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan dalam Pasal 8 ayat (2) wajib disampaikan oleh KUAKec kepada Instansi Pelaksana dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah pencatatan perkawinan dilaksanakan;

6)     Hasil pencatatan data sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak memerlukan penerbitan kutipan akta Pencatatan Sipil;

7)     Pada tingkat kecamatan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada UPTD Instansi Pelaksana.

Penataan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama islam dilakukan oleh pengawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan (pasal 2 (2) PP Nomor 9 tahun 1975). Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 sampai pasal 9 PP Nomor 9 tahun 1975.

Tujuan diadakan ketentuan pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah untuk menghindari konflik hukum antara hukum adat, hukum agama, dan hukum antar golongan. Sedangkan tujuan pencatatan perkawinan adalah: (1) menjadikan peristiwa perkawinan menjadi jelas, baik oleh yang bersangkutan maupun pihak lainnya, (2) sebagai alat bukti bagi anak-anak kelak kemudian apabila timbul sengketa, baik antara anak kandung maupun saudara tiri sendiri, dan (3) sebagai dasar pembayaran tunjangan istri atau suami, bagi pengawai negeri sipil (PNS).

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa Perkawinan beda agama tidak sah dan tidak diakui, dalam hal pencatatan perkawinan beda agama apabila salah satu pihak “menundukkan diri” kepada keyakinan pihak lainnya (non islam) maka perkawinannya tersebut bisa dicatatkan di Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil.

 

 

Sumber:

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.


Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.

Kompilasi Hukum Islam.

Nova Sukardianto, Aspek Hukum Pencatatan Perkawinan Menurut Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Bagi Orang Yang Beragama Islam, Tesis, 2019.

 

Rabu, 23 Februari 2022

MENIKAH TIDAK DIRESTUI ORANG TUA..?

WALI ADHAL

Oleh

Nova Sukardianto, S.H., M.H.

 


Dalam pelaksanaan perkawinan atau pernikahan ada ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi meliputi rukun dan syarat agar perkawinan atau pernikahan yang dilaksanakan merupakan perkawinan atau pernikahan yang sah dan diakui secara hukum sehingga hak dan kewajiban dapat berlaku. Adapun yang dimaksud rukun dan syarat perkawinan adalah sebagai berikut:

Rukun adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan, dalah hal ini masalah ibadah (perkawinan), dan rukun termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu. Adapun syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah) tetapi ia tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan tersebut.

Perkawinan dalam islam dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya yang telah digariskan oleh para fuqoha. Jika suatu perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syaratnya, maka perkawinan tersebut dinamakan fasid (rusak) dan jika tidak memenuhi rukun-rukun perkawinan disebut bathil (batal).

Syarat sah perkawinan masuk pada setiap rukun perkawinan. Setiap rukun perkawinan mempunyai syarat-syarat masing-masing yang harus terpenuhi. Rukun perkawinan ada 5 (lima) sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa:

Untuk melaksanakan perkawinan harus ada:

a.      Calon suami;

b.      Calon isteri;

c.      Wali nikah;

d.      Dua orang saksi, dan;

e.      Ijab dan Kabul.

Wali dalam akad perkawinan menjadi penentu sah tidaknya sebuah akad, secara umum wali nikah dapat didefenisikan sebagai orang yang berhak menikahkan seorang perempuan atau seorang anak perempuan dengan seorang laki-laki pilihannya. Wali dalam pernikahan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu wali nasab dan wali hakim.

Wali nasab adalah anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai perempuan yang mempunyai hubungan darah dengan mempelai perempuan dari pihak ayah bukan saudara seibu, sedangankan wali hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh menteri agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya atau berdasarkan putusan Pengadilan Agama, dalam hal ini sebagai hakim atau penguasa yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.

Kewenangan wali nasab sebagai wali utama dalam perkawinan dapat berpindah kepada wali hakim apabila wali nasab tidak bersedia atau enggan (adhal) menjadi wali nikah dalam perkawinan.

Wali adhal adalah peristiwa dimana wali / seorang ayah enggan menikahkan dan/atau tidak mau (menolak) menjadi wali nikah atas perkawinan anaknya atau wanita yang berada dalam perwaliannya.

Peristiwa ini sering terjadi di tengah-tengan masyarakat dimana seorang Ayah atau wali tidak bersedia menjadi wali dalam pernikahan putrinya atau wanita yang berada dalam perwaliannya, hal ini terjadi dengan berbagai macam alasan dan berbagai faktor yang melatarbelakanginya.

Faktor yang sering muncul dimasyarakat adalah ketidak sukaan seorang wali dengan laki-laki yang menjadi pilihan anaknya, ketidak sukaan ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Pertama, berbeda pandangan terkait masalah keagamaan, seperti tidak satu pengajian, Kedua, sentimen terhadap profesi tertentu atau pekerjaan laki-laki pilihan anaknya, misalnya seorang wali tidak mau anaknya menikah dengan seorang Polisi, Penyanyi, dll, Ketiga, faktor pendidikan dan ekonomi.

Sementara itu Undang-undang mengatakan bahwa perkawinan itu merupakan hak bagi seorang perempuan yang dijamin oleh Undang-undang, sebagaimana ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang menyatakan bahwa “wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya”, Pasal 50 ini juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan melakukan perbuatan hukum sendiri adalah cakap menurut hukum, bagi wanita beragama Islam yang sudah dewasa, untuk menikah diwajibkan menggunakan wali.

Kemudian muncul pertanyaan apakah ada upaya hukum yang harus ditempuh bagi calon mempelai perempuan dalam menghadapi wali adhal tersebut dan untuk memperjuangkan haknya untuk menikah.? Maka, dalam menghadapi wali adhal dan untuk memperjuangkan haknya untuk menikah tersebut calon mempelai perempuan bisa mengajukan Permohonan Penetapan Wali Adhal ke Pengadilan Agama. Hal ini selaras dengan Pasal 2 Peraturan Menteri Agama  Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2005 Tentang Wali Hakim, menyatakan:

Pasal 2

1.    Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau diluar negeri / diluar wilayah teritorial Indonesia, tidak mempunyai wali nasab yang berhak atau wali nasabnya tidak memenuhi syarat, atau mafqud, atau berhalangan, atau adhal, maka pernikahannya dilangsungkan oleh wali hakim;

2.    Khusus untuk menyatakan adhalnya wali sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan Keputusan Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita.

 

Adapun untuk bagaimana penyelesaian perkara wali adhal dan tekhnis beracaranya di Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah maka dapat menghubungi kami di nomor berikut ini:

 

NOVA SUKARDIANTO & PARTNERS

HP / WA : 0812 6765 1140

 

 

Senin, 07 Februari 2022

SUAMI ANDA NIKAH LAGI...?

 


POLIGAMI BUTA

Oleh:

Nova Sukardianto, S.H., M.H.

 

Istilah poligami sudah tidak asing ditelinga masyarakat Indonesia, secara sederhana poligami dapat diartikan sebagai sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki istri lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan, Dalam perspektif hukum Islam, poligami dibatasi sampai maksimal empat orang isteri, ada dua ayat pokok yang dapat dijadikan acuan dilakukannya poligami, yakni QS. al-Nisa' (4): 3 dan QS. al-Nisa' (4): 129.

Mengacu kepada ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juncto Kompilasi Hukum Islam (KHI), poligami boleh dilakukan setelah mendapatkan izin dari Pengadilan Agama, sebagaimana termaktub dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juncto Pasal 56 dan 58 KHI yang pada pokoknya menerangkan: Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan atau suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama dan Persetujuan Istri.

Secara agama Islam poligami tidaklah dilarang begitu juga menurut ketentuan peraturan perundang-undangan poligami itu sah dan legal apabila dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undagan yang berlaku. Namun, fenomena yang sering terjadi ditengah masyarakat adalah poligami buta dalam artian poligami tanpa adanya izin dari pengadilan Agama.

Dalam menanggapi fenomena tersebut, maka penulis akan menguraikan beberapa hal yang semoga memberikan pencerahan bagi para pembaca sekalian.

Dilihat secara hukum poligami yang terjadi tanpa adanya izin dari pengadilan Agama, maka pernikahan/perkawinannya tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dikarenakan perkawinannya tidak akan dapat didaftarkan dan/atau dicatatkan di Instansi Pencatatan Pernikahan atau KUA, karena setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan berlaku (Pasal 2 Ayat (2) UU Perkawinan).

Pencatatan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, kemudian diatur lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 34 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan yang menjelaskan bahwa: Perkawinan yang sah menurut Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.

Poligami tanpa izin Pengadilan Agama dilihat dari ketentuan Pasal 56 Ayat (3) Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa: Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Kemudian timbul pertanyaan di tengah masyarakat jika suaminya menikah lagi secara diam-diam lantas apa yang musti mereka lakukan? Dalam hal ini bagi istri pertama dapat melakukan beberapa upaya hukum, bisa melalui upaya hukum secara perdata maupun upuaya hukum secara pidana.

Upaya hukum secara perdata. Pertama, istri pertama bisa mengajukan permohonan pembatalan nikah terhadap pernikahan/perkawinan yang dilakukan suaminya ke Pengadilan Agama dimana dia (sang istri) bertempat tinggal. Kedua, istri pertama bisa mengajukan gugatan perceraian untuk mengakhiri ikatan perkawinan dengan sang suami (poin yang kedua ini penulis tidak terlalu menganjurkan).

Secara pidana, istri pertama bisa melaporkan sang suami kepada pihak Kepolisian karena telah melanggar ketentuan Pasal 279 KUHP karena telah mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu. Siapa saja yang melakukan perbuatan sebagaimana diataur dalam Pasal 279 KUHP tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.

 

 

 

NOVA SUKARDIANTO & PARTNERS

HP/WA : 0812 6765 1140