POLIGAMI BUTA
Oleh:
Nova Sukardianto, S.H., M.H.
Istilah poligami sudah tidak asing ditelinga masyarakat Indonesia, secara sederhana poligami dapat diartikan sebagai sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki istri lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan, Dalam perspektif hukum Islam, poligami dibatasi sampai maksimal empat orang isteri, ada dua ayat pokok yang dapat dijadikan acuan dilakukannya poligami, yakni QS. al-Nisa' (4): 3 dan QS. al-Nisa' (4): 129.
Mengacu kepada ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juncto Kompilasi Hukum Islam (KHI), poligami boleh dilakukan setelah mendapatkan izin dari Pengadilan Agama, sebagaimana termaktub dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juncto Pasal 56 dan 58 KHI yang pada pokoknya menerangkan: Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan atau suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama dan Persetujuan Istri.
Secara agama Islam poligami tidaklah dilarang begitu juga menurut ketentuan peraturan perundang-undangan poligami itu sah dan legal apabila dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undagan yang berlaku. Namun, fenomena yang sering terjadi ditengah masyarakat adalah poligami buta dalam artian poligami tanpa adanya izin dari pengadilan Agama.
Dalam menanggapi fenomena tersebut, maka penulis akan menguraikan beberapa hal yang semoga memberikan pencerahan bagi para pembaca sekalian.
Dilihat secara hukum poligami yang terjadi tanpa adanya izin dari pengadilan Agama, maka pernikahan/perkawinannya tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dikarenakan perkawinannya tidak akan dapat didaftarkan dan/atau dicatatkan di Instansi Pencatatan Pernikahan atau KUA, karena setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan berlaku (Pasal 2 Ayat (2) UU Perkawinan).
Pencatatan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, kemudian diatur lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 34 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan yang menjelaskan bahwa: Perkawinan yang sah menurut Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.
Poligami tanpa izin Pengadilan Agama dilihat dari ketentuan Pasal 56 Ayat (3) Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa: Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Kemudian timbul pertanyaan di tengah masyarakat jika suaminya menikah lagi secara diam-diam lantas apa yang musti mereka lakukan? Dalam hal ini bagi istri pertama dapat melakukan beberapa upaya hukum, bisa melalui upaya hukum secara perdata maupun upuaya hukum secara pidana.
Upaya hukum secara perdata. Pertama, istri pertama bisa mengajukan permohonan pembatalan nikah terhadap pernikahan/perkawinan yang dilakukan suaminya ke Pengadilan Agama dimana dia (sang istri) bertempat tinggal. Kedua, istri pertama bisa mengajukan gugatan perceraian untuk mengakhiri ikatan perkawinan dengan sang suami (poin yang kedua ini penulis tidak terlalu menganjurkan).
Secara pidana, istri pertama bisa melaporkan sang suami kepada pihak Kepolisian karena telah melanggar ketentuan Pasal 279 KUHP karena telah mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu. Siapa saja yang melakukan perbuatan sebagaimana diataur dalam Pasal 279 KUHP tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.
NOVA SUKARDIANTO & PARTNERS
HP/WA : 0812 6765 1140
Tidak ada komentar:
Posting Komentar