Rabu, 23 Februari 2022

MENIKAH TIDAK DIRESTUI ORANG TUA..?

WALI ADHAL

Oleh

Nova Sukardianto, S.H., M.H.

 


Dalam pelaksanaan perkawinan atau pernikahan ada ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi meliputi rukun dan syarat agar perkawinan atau pernikahan yang dilaksanakan merupakan perkawinan atau pernikahan yang sah dan diakui secara hukum sehingga hak dan kewajiban dapat berlaku. Adapun yang dimaksud rukun dan syarat perkawinan adalah sebagai berikut:

Rukun adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan, dalah hal ini masalah ibadah (perkawinan), dan rukun termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu. Adapun syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah) tetapi ia tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan tersebut.

Perkawinan dalam islam dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya yang telah digariskan oleh para fuqoha. Jika suatu perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syaratnya, maka perkawinan tersebut dinamakan fasid (rusak) dan jika tidak memenuhi rukun-rukun perkawinan disebut bathil (batal).

Syarat sah perkawinan masuk pada setiap rukun perkawinan. Setiap rukun perkawinan mempunyai syarat-syarat masing-masing yang harus terpenuhi. Rukun perkawinan ada 5 (lima) sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa:

Untuk melaksanakan perkawinan harus ada:

a.      Calon suami;

b.      Calon isteri;

c.      Wali nikah;

d.      Dua orang saksi, dan;

e.      Ijab dan Kabul.

Wali dalam akad perkawinan menjadi penentu sah tidaknya sebuah akad, secara umum wali nikah dapat didefenisikan sebagai orang yang berhak menikahkan seorang perempuan atau seorang anak perempuan dengan seorang laki-laki pilihannya. Wali dalam pernikahan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu wali nasab dan wali hakim.

Wali nasab adalah anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai perempuan yang mempunyai hubungan darah dengan mempelai perempuan dari pihak ayah bukan saudara seibu, sedangankan wali hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh menteri agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya atau berdasarkan putusan Pengadilan Agama, dalam hal ini sebagai hakim atau penguasa yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.

Kewenangan wali nasab sebagai wali utama dalam perkawinan dapat berpindah kepada wali hakim apabila wali nasab tidak bersedia atau enggan (adhal) menjadi wali nikah dalam perkawinan.

Wali adhal adalah peristiwa dimana wali / seorang ayah enggan menikahkan dan/atau tidak mau (menolak) menjadi wali nikah atas perkawinan anaknya atau wanita yang berada dalam perwaliannya.

Peristiwa ini sering terjadi di tengah-tengan masyarakat dimana seorang Ayah atau wali tidak bersedia menjadi wali dalam pernikahan putrinya atau wanita yang berada dalam perwaliannya, hal ini terjadi dengan berbagai macam alasan dan berbagai faktor yang melatarbelakanginya.

Faktor yang sering muncul dimasyarakat adalah ketidak sukaan seorang wali dengan laki-laki yang menjadi pilihan anaknya, ketidak sukaan ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Pertama, berbeda pandangan terkait masalah keagamaan, seperti tidak satu pengajian, Kedua, sentimen terhadap profesi tertentu atau pekerjaan laki-laki pilihan anaknya, misalnya seorang wali tidak mau anaknya menikah dengan seorang Polisi, Penyanyi, dll, Ketiga, faktor pendidikan dan ekonomi.

Sementara itu Undang-undang mengatakan bahwa perkawinan itu merupakan hak bagi seorang perempuan yang dijamin oleh Undang-undang, sebagaimana ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang menyatakan bahwa “wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya”, Pasal 50 ini juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan melakukan perbuatan hukum sendiri adalah cakap menurut hukum, bagi wanita beragama Islam yang sudah dewasa, untuk menikah diwajibkan menggunakan wali.

Kemudian muncul pertanyaan apakah ada upaya hukum yang harus ditempuh bagi calon mempelai perempuan dalam menghadapi wali adhal tersebut dan untuk memperjuangkan haknya untuk menikah.? Maka, dalam menghadapi wali adhal dan untuk memperjuangkan haknya untuk menikah tersebut calon mempelai perempuan bisa mengajukan Permohonan Penetapan Wali Adhal ke Pengadilan Agama. Hal ini selaras dengan Pasal 2 Peraturan Menteri Agama  Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2005 Tentang Wali Hakim, menyatakan:

Pasal 2

1.    Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau diluar negeri / diluar wilayah teritorial Indonesia, tidak mempunyai wali nasab yang berhak atau wali nasabnya tidak memenuhi syarat, atau mafqud, atau berhalangan, atau adhal, maka pernikahannya dilangsungkan oleh wali hakim;

2.    Khusus untuk menyatakan adhalnya wali sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan Keputusan Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita.

 

Adapun untuk bagaimana penyelesaian perkara wali adhal dan tekhnis beracaranya di Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah maka dapat menghubungi kami di nomor berikut ini:

 

NOVA SUKARDIANTO & PARTNERS

HP / WA : 0812 6765 1140

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar