Selasa, 22 Agustus 2023

Keabsahan Perkawinan Transgender

 

TRANSGENDER DARI PERSPEKTIF HUKUM PERKAWINAN

Oleh:

Nova Sukardianto, S.H., M.H.

 

Negara Hukum ialah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga negaranya. (Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim (1998, 153).

A. Mukthie Fadjar (2018, 101) memberikan defenisi negara hukum sebagai negara yang susunannya diatur dengan sebaik-baiknya dalam undang-undang, sehingga segala kekuasaan dari alat-alat pemerintahannya didasarkan atas hukum. Negara hukum ialah negara yang diperintahi bukan oleh orang-orang, tetapi oleh undang-undang (state the not governed by men, but by laws). Karena itu, didalam negara hukum, hak-hak rakyat dijamin sepenuhnya oleh negara dan, sebaliknya, terhadap negara, rakyat wajib memenuhi seluruh kewajibannya dengan tunduk dan taat pada segala peraturan pemerintah dan undang-undang negara.

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Repulik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Yang mengandung pengertian bahwa segala tatanan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara didasarkan atas hukum yang berlaku.

Begitu juga dengan Perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan juncto Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Dalam ketentuan pasal 1 UU Perkawinan menerangkan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Jika dilihat dari isi pasal 1 UU Perkawinan ini maka dapat diuraikan paling tidak 4 (empat) unsur, diantaranya:

-        Perkawinan adalah ikatan lahir batin;

-        Antara seorang pria dan serang wanita sebagai suami istri;

-        Tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia;

-        Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;

Kemudian penjelasan dari unsur-unsur diatas adalah sebagai berikut:

Perkawinan adalah ikatan lahir batin

Dapat diartikan perkawinan yang dilangsungkan tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan hanya mempunyai unsur lahir/jasmani, akan tepapi juga unsur batin/rohani;

Antara seorang pria dan serang wanita sebagai suami istri

Perkawinan itu hanya bisa dilangsungkan antara seorang pria dengan seorang wanita dengan seorang, hal ini berkaitan dengan unsur berikutnya yaitu tujuan perkawinan itu sendiri;

Tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia

Tujuan dari perkawinan itu adalah membentuk keluarga, yang mana didalam keluarga ada ayah, ada ibu dan ada anak. Dalam artian tujuan dari perkawinan itu adalah untuk melanjutkan keturunan;

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Negara Indonesia merupakan  hukum yang berketuhanan yang menjamin setiap pemeluk agama menjalankan agamanya, begitu juga dengan perkawinan bagi yang beragama Islam melaksanakan perkawinan secara Islam, yang beragama Kristen melaksanakan secara Kristen dan begitu juga dengan agama lain Khatolik, Hindu, Budha dan Konghucu melaksanakan perkawinan menurut agama masing-masing.

Berdasarkan unsur-unsur Pasal sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perkawinan itu hanya boleh dilaksanakan antara seorang pria dengan seorang wanita yang seagama sesuai dengan hukum dan/atau tuntunan dan tata cara masing-masing agama guna melanjukan keturunan.

Kemudian mucul pertanyaan bagaimana dengan perkawinan Transgender dan/atau orang yang mengubah jenis kelamin?

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan juncto Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan Pasal 56 Ayat 1 menyatakan Pencatatan Peristiwa Penting lainnya dilakukan oleh Pejabat Pencatatan Sipil atas permintaan Penduduk yang bersangkutan setelah adanya putusan pengadilan negeri yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Penjelasan Pasal 56 Ayat 1 ini adalah yang dimaksud dengan “Peristiwa Penting lainnya” adalah peristiwa yang ditetapkan oleh pengadilan negeri untuk dicatatkan pada instansi Pelaksana, antara lain perubahan jenis kelamin.

Pasal 56 Ayat 1 Undang-Undang Administrasi Kependudukan ini seakan menjadi peluang dan/atau celah bagi komunitas LGBT untuk melakukan perkawinan sejenis.

Jika dilihat dari UU Perkawinan, perkawinan Transgender tetaplah tidak sah. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu (Pasal 2 Ayat 1 UU Perkawinan).

Sah atau tidaknya suatu perkawinan oleh Undang-undang dikembalikan lagi kepada ajaran agama masing-masing, dalam artian yang beragama Islam sah menikah sesuai dengan ajaran agama Islam begitu juga dengan penganut agama lainnya sah apabila dilakukan menurut tuntunan dan tata cara agamanya masing-masing.

Jika dilihat dari perspektif hukum, maka perkawinan Transgender dan/atau orang yang mengubah jenis kelaminnya tidaklah sah, karena bertentangan dengan UU Perkawinan dan UUD Tahun 1945 BAB XI Tentang Agama Pasal 29, menerangkan bahwa: Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa; Negara Menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar