Minggu, 11 September 2022

STATUS PERKAWINANMU..?

 

ITSBAT NIKAH (PENGESAHAN PERKAWINAN)

Oleh

Nova Sukardianto, S.H., M.H.


Perkawinan sah apabila dilangsungkan sesuai dengan aturan agama dan kepercayaan kemudian dicatatkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan.

Perkawinan dianggap sah secara agama atau kepercayaan tentu setelah memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan oleh masing-masing agama dan kepercayaan tersebut. Perkawinan sah secara agama atau kepercayaan saja tidak cukup dalam mengarungi bahtera rumah tangga, disamping sah secara agama perkawinan tersebut harus tercatat di lembaga pencatatan perkawinan. Lembaga pencatatan perkawinan bagi yang beragama Islam di Kantor Urusan Agama (KUA) sedangkan bagi yang beragama non-Islam di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil).

Pencatatan perkawinan ini sangatlah penting bagi kelangsungan kehidupan berumah tangga, karena pencatatan perkawinan merupakan bukti otentik terhadap peristiwa perkawinan itu sendiri dalam bentuk Buku Nikah/Akta Nikah. Banyak ditemukan di dalam kehidupan masyarakat perkawinan yang tidak tercatat.

Sebagian kecil dari masyarakat tidak begitu mementingkan pencatatan perkawinan, ada yang beranggapan yang penting perkawinannya sah secara agama. Anggapan seperti ini tentunya anggapan yang salah dan pada ujungnya akan merugikan dirinya sendiri serta anak keturunannya kelak.

Banyak kerugian yang akan diperoleh dari tidak dicatatkannya perkawinan, adapun kerugian tersebut diantaranya: 1. Secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak sah karena tidak ada bukti dari peristiwa perkawinan tersebut; 2. Apabila terjadi perceraian dari pasangan yang perkawinannya tidak tercatat tersebut tentu sangat sulit untuk mengklaim harta bersama atau gono gini; 3. Anak tidak berhak atas harta warisan orang tuanya (Ayah) yang perkawinanya tidak tercatat; 4. Apabila anak yang lahir perempuan maka Ayahnya tidak bisa menjadi wali nikah; 5. Anak laki-laki dari perkawinan yang tidak tercatat tidak bisa menjadi wali nikah adiknya yang perempuan; 6. Pandangan masyarakat terhadap perkawinan tidak tercatat kurang baik bahkan jika ada anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat tersebut akan dilebeli anak haram.

Lalu kemudian timbul pertanyaan bagaimana jika sudah terjadi perkawinan akan tetapi belum pernah tercatat di lembaga pencatatan perkawinan atau sudah dicatatkan (memiliki buku nikah) namun bodong?

Dalam menjawab pertanyaan tersebut, bagi masyarakat yang mengalami hal seperti diatas, maka dapat mengajukan permohonan Itsbat Nikah (permohonan pengesahan perkawinan) ke Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah.

Permohonan itsbat nikah dapat dilakukan oleh kedua suami istri atau salah satu dari suami istri, anak, wali nikah, dan pihak lain yang berkepentingan dengan perkawinan tersebut kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah dalam wilayah hukum pemohon bertempat tinggal, dan permohonan itsbat nikah harus dilengkapi dengan alasan dan kepentingan yang jelas serta konkrit.

Permohonan itsbat nikah memiliki dua sifat. Pertama, bersifat voluntair, produknya berupa penetapan, jika isi penetapan tersebut menolak permohonan itsbat nikah, maka suami istri bersama-sama atau masing-masing dapat mengajukan upaya hukum kasasi. Kedua, bersifat kontensius, permohonan itsbat nikah yang diajukan oleh salah satu pihak sebagai Pemohon dan menjadikan pihak lainnya sebagai termohon, produknya berupa putusan, dan terhadap putusan tersebut dapat diajukan upaya hukum banding dan kasasi.

 

Untuk info lebih lanjut dapat menghubungi kami pada:

Kantor Hukum NOVA SUKARDIANTO & PARTNERS

Jl. Dadap, Taman Yasmin, Kel. Curugmekar, Kec. Bogor Barat, Kota Bogor

HP/WA : 0812 6765 1140

Kamis, 23 Juni 2022

KEABSAHAN PERKAWINAN BEDA AGAMA

 

PERKAWINAN BEDA AGAMA

Oleh

Nova Sukardianto, S.H., M.H.



 

Hukum positif tidak mengenal istilah perkawinan beda agama dan bahkan melarang perkawinan beda agama, dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengizinkan perkawinan beda agama, hal ini secara tegas dan jelas dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwasannya perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Secara hukum, perkawinan beda agama tidak sah. Adapun perkawinan yang dilaksanakan oleh orang yang berbeda agama bisa dilaksanakan apabila salah satu pihak “menundukkan diri” kepada keyakinan pihak lainnya.

Terdapat pro dan kontra terhadap frasa “menundukkan diri” kepada keyakinan pihak lain, bagi yang pro terhadap perkawinan beda agama frasa “menundukkan diri” tersebut diartikan hanya tunduk terhadap prosesi perkawinan dan tidak mesti pindah keyakinan yang penting perkawinan mereka diakui dan bisa dicatatkan, sedangkan bagi yang kontra terhadap perkawinan beda agama frasa “menundukkan diri” merupakan pengakuan secara keimanan terhadap keyakinan pihak lain tersebut dan/atau telah berpindah keyakinan kepada keyakinan pihak lain tersebut.

Dalam hal ini kita harus memahami dan harus bisa membedakan antara sahnya perkawinan dengan pencatatan perkawinan. Sah atau tidaknya suatu perkawinan ini lebih kepada ketentuan agama dan kepercayaan seperti yang termaktub dalam Pasal 2 ayat (1) undang-undang Perkawinan, dalam perspektif Islam pekawinan sah apabila memenuhi rukun dan syarat sahnya perkawinan (Kompilasi Hukum Islam BAB IV Rukun dan Syarat Perkawinan).

Sedangkan pencatatan perkawinan merupakan bagian dari administrasi kependudukan yang harus dilaksanakan oleh tiap-tiap orang yang melangsungkan perkawinan hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan yang menyatakan bahwa Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pencatatan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan kemudian diatur lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan yang menjelaskan bahwa:

1)     Perkawinan yang sah menurut Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan;

2)     Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan;

3)     Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing-masing diberikan kepada suami dan istri;

4)     Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang beragama Islam dilakukan oleh KUAKec;

5)     Data hasil pencatatan atas peristiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan dalam Pasal 8 ayat (2) wajib disampaikan oleh KUAKec kepada Instansi Pelaksana dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah pencatatan perkawinan dilaksanakan;

6)     Hasil pencatatan data sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak memerlukan penerbitan kutipan akta Pencatatan Sipil;

7)     Pada tingkat kecamatan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada UPTD Instansi Pelaksana.

Penataan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama islam dilakukan oleh pengawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan (pasal 2 (2) PP Nomor 9 tahun 1975). Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 sampai pasal 9 PP Nomor 9 tahun 1975.

Tujuan diadakan ketentuan pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah untuk menghindari konflik hukum antara hukum adat, hukum agama, dan hukum antar golongan. Sedangkan tujuan pencatatan perkawinan adalah: (1) menjadikan peristiwa perkawinan menjadi jelas, baik oleh yang bersangkutan maupun pihak lainnya, (2) sebagai alat bukti bagi anak-anak kelak kemudian apabila timbul sengketa, baik antara anak kandung maupun saudara tiri sendiri, dan (3) sebagai dasar pembayaran tunjangan istri atau suami, bagi pengawai negeri sipil (PNS).

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa Perkawinan beda agama tidak sah dan tidak diakui, dalam hal pencatatan perkawinan beda agama apabila salah satu pihak “menundukkan diri” kepada keyakinan pihak lainnya (non islam) maka perkawinannya tersebut bisa dicatatkan di Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil.

 

 

Sumber:

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.


Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.

Kompilasi Hukum Islam.

Nova Sukardianto, Aspek Hukum Pencatatan Perkawinan Menurut Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Bagi Orang Yang Beragama Islam, Tesis, 2019.

 

Rabu, 23 Februari 2022

MENIKAH TIDAK DIRESTUI ORANG TUA..?

WALI ADHAL

Oleh

Nova Sukardianto, S.H., M.H.

 


Dalam pelaksanaan perkawinan atau pernikahan ada ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi meliputi rukun dan syarat agar perkawinan atau pernikahan yang dilaksanakan merupakan perkawinan atau pernikahan yang sah dan diakui secara hukum sehingga hak dan kewajiban dapat berlaku. Adapun yang dimaksud rukun dan syarat perkawinan adalah sebagai berikut:

Rukun adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan, dalah hal ini masalah ibadah (perkawinan), dan rukun termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu. Adapun syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah) tetapi ia tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan tersebut.

Perkawinan dalam islam dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya yang telah digariskan oleh para fuqoha. Jika suatu perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syaratnya, maka perkawinan tersebut dinamakan fasid (rusak) dan jika tidak memenuhi rukun-rukun perkawinan disebut bathil (batal).

Syarat sah perkawinan masuk pada setiap rukun perkawinan. Setiap rukun perkawinan mempunyai syarat-syarat masing-masing yang harus terpenuhi. Rukun perkawinan ada 5 (lima) sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa:

Untuk melaksanakan perkawinan harus ada:

a.      Calon suami;

b.      Calon isteri;

c.      Wali nikah;

d.      Dua orang saksi, dan;

e.      Ijab dan Kabul.

Wali dalam akad perkawinan menjadi penentu sah tidaknya sebuah akad, secara umum wali nikah dapat didefenisikan sebagai orang yang berhak menikahkan seorang perempuan atau seorang anak perempuan dengan seorang laki-laki pilihannya. Wali dalam pernikahan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu wali nasab dan wali hakim.

Wali nasab adalah anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai perempuan yang mempunyai hubungan darah dengan mempelai perempuan dari pihak ayah bukan saudara seibu, sedangankan wali hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh menteri agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya atau berdasarkan putusan Pengadilan Agama, dalam hal ini sebagai hakim atau penguasa yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.

Kewenangan wali nasab sebagai wali utama dalam perkawinan dapat berpindah kepada wali hakim apabila wali nasab tidak bersedia atau enggan (adhal) menjadi wali nikah dalam perkawinan.

Wali adhal adalah peristiwa dimana wali / seorang ayah enggan menikahkan dan/atau tidak mau (menolak) menjadi wali nikah atas perkawinan anaknya atau wanita yang berada dalam perwaliannya.

Peristiwa ini sering terjadi di tengah-tengan masyarakat dimana seorang Ayah atau wali tidak bersedia menjadi wali dalam pernikahan putrinya atau wanita yang berada dalam perwaliannya, hal ini terjadi dengan berbagai macam alasan dan berbagai faktor yang melatarbelakanginya.

Faktor yang sering muncul dimasyarakat adalah ketidak sukaan seorang wali dengan laki-laki yang menjadi pilihan anaknya, ketidak sukaan ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Pertama, berbeda pandangan terkait masalah keagamaan, seperti tidak satu pengajian, Kedua, sentimen terhadap profesi tertentu atau pekerjaan laki-laki pilihan anaknya, misalnya seorang wali tidak mau anaknya menikah dengan seorang Polisi, Penyanyi, dll, Ketiga, faktor pendidikan dan ekonomi.

Sementara itu Undang-undang mengatakan bahwa perkawinan itu merupakan hak bagi seorang perempuan yang dijamin oleh Undang-undang, sebagaimana ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang menyatakan bahwa “wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya”, Pasal 50 ini juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan melakukan perbuatan hukum sendiri adalah cakap menurut hukum, bagi wanita beragama Islam yang sudah dewasa, untuk menikah diwajibkan menggunakan wali.

Kemudian muncul pertanyaan apakah ada upaya hukum yang harus ditempuh bagi calon mempelai perempuan dalam menghadapi wali adhal tersebut dan untuk memperjuangkan haknya untuk menikah.? Maka, dalam menghadapi wali adhal dan untuk memperjuangkan haknya untuk menikah tersebut calon mempelai perempuan bisa mengajukan Permohonan Penetapan Wali Adhal ke Pengadilan Agama. Hal ini selaras dengan Pasal 2 Peraturan Menteri Agama  Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2005 Tentang Wali Hakim, menyatakan:

Pasal 2

1.    Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau diluar negeri / diluar wilayah teritorial Indonesia, tidak mempunyai wali nasab yang berhak atau wali nasabnya tidak memenuhi syarat, atau mafqud, atau berhalangan, atau adhal, maka pernikahannya dilangsungkan oleh wali hakim;

2.    Khusus untuk menyatakan adhalnya wali sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan Keputusan Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita.

 

Adapun untuk bagaimana penyelesaian perkara wali adhal dan tekhnis beracaranya di Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah maka dapat menghubungi kami di nomor berikut ini:

 

NOVA SUKARDIANTO & PARTNERS

HP / WA : 0812 6765 1140

 

 

Senin, 07 Februari 2022

SUAMI ANDA NIKAH LAGI...?

 


POLIGAMI BUTA

Oleh:

Nova Sukardianto, S.H., M.H.

 

Istilah poligami sudah tidak asing ditelinga masyarakat Indonesia, secara sederhana poligami dapat diartikan sebagai sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki istri lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan, Dalam perspektif hukum Islam, poligami dibatasi sampai maksimal empat orang isteri, ada dua ayat pokok yang dapat dijadikan acuan dilakukannya poligami, yakni QS. al-Nisa' (4): 3 dan QS. al-Nisa' (4): 129.

Mengacu kepada ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juncto Kompilasi Hukum Islam (KHI), poligami boleh dilakukan setelah mendapatkan izin dari Pengadilan Agama, sebagaimana termaktub dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juncto Pasal 56 dan 58 KHI yang pada pokoknya menerangkan: Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan atau suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama dan Persetujuan Istri.

Secara agama Islam poligami tidaklah dilarang begitu juga menurut ketentuan peraturan perundang-undangan poligami itu sah dan legal apabila dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undagan yang berlaku. Namun, fenomena yang sering terjadi ditengah masyarakat adalah poligami buta dalam artian poligami tanpa adanya izin dari pengadilan Agama.

Dalam menanggapi fenomena tersebut, maka penulis akan menguraikan beberapa hal yang semoga memberikan pencerahan bagi para pembaca sekalian.

Dilihat secara hukum poligami yang terjadi tanpa adanya izin dari pengadilan Agama, maka pernikahan/perkawinannya tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dikarenakan perkawinannya tidak akan dapat didaftarkan dan/atau dicatatkan di Instansi Pencatatan Pernikahan atau KUA, karena setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan berlaku (Pasal 2 Ayat (2) UU Perkawinan).

Pencatatan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, kemudian diatur lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 34 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan yang menjelaskan bahwa: Perkawinan yang sah menurut Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.

Poligami tanpa izin Pengadilan Agama dilihat dari ketentuan Pasal 56 Ayat (3) Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa: Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Kemudian timbul pertanyaan di tengah masyarakat jika suaminya menikah lagi secara diam-diam lantas apa yang musti mereka lakukan? Dalam hal ini bagi istri pertama dapat melakukan beberapa upaya hukum, bisa melalui upaya hukum secara perdata maupun upuaya hukum secara pidana.

Upaya hukum secara perdata. Pertama, istri pertama bisa mengajukan permohonan pembatalan nikah terhadap pernikahan/perkawinan yang dilakukan suaminya ke Pengadilan Agama dimana dia (sang istri) bertempat tinggal. Kedua, istri pertama bisa mengajukan gugatan perceraian untuk mengakhiri ikatan perkawinan dengan sang suami (poin yang kedua ini penulis tidak terlalu menganjurkan).

Secara pidana, istri pertama bisa melaporkan sang suami kepada pihak Kepolisian karena telah melanggar ketentuan Pasal 279 KUHP karena telah mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu. Siapa saja yang melakukan perbuatan sebagaimana diataur dalam Pasal 279 KUHP tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.

 

 

 

NOVA SUKARDIANTO & PARTNERS

HP/WA : 0812 6765 1140

 

 

 

 

 

 

Minggu, 06 Februari 2022

GUGATAN TATA USAHA NEGARA

 

 


GUGATAN TATA USAHA NEGARA

Oleh

NOVA SUKARDIANTO, S.H., M.H.

 

Dalam mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) ada beberapa hal yang musti diperhatikan oleh pencari keadilan sebelum gugatan didaftarkan.

Secara sederhana gugatan Tata Usaha Negara dapat diartikan upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas terbitkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).

Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sengketa TUN adalah sengketa yang timbul antara orang atau Badan Hukum perdata baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Obyek sengketa / Obyek Gugatan di PTUN adalah Keputusan tata usaha negara sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 dan Keputusan fiktif negatif berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 juncto Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang  Peradilan Tata Usaha Negara.

Di dalam suatu gugatan Tata Usaha Negara minimal juga harus menjelaskan mengenai kewenagan PTUN, syarat formil gugatan, tenggang waktu pengajuan gugatan dan dasar hukum diajukannya gugatan tersebut ke PTUN.

Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara, Bahwa berdasarkan Pasal 47 Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara,  pengadilan  bertugas  dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.

Syarat formil pengajuan gugatan, bahwa berdasarkan defenisi sebagaimana telah diuraikan diatas, maka obyek gugatan adalah sebuah keputusan tertulis yang berisi penetapan tertulis (beschikking) dan langsung berlaku sejak dikeluarkan oleh pejabat yang membuatnya (einmalig). Obyek gugatan bersifat konkrit karena yang disebutkan dalam surat keputusan tersebut tidak abstrak, tetapi berwujud dan nyata, bersifat individual karena tidak ditujukan kepada umum, tetapi secara tegas ditujukan kepada Individu atau Badan Hukum Perdata tertentu, bersifat final karena tidak lagi memerlukan persetujuan dari instansi tertentu baik bersifat horizontal maupun vertikal.

Tenggang waktu pengajuan gugatan, berdasarkan ketentuan Pasal 55 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, tenggang waktu mengajukan gugatan bagi yang dituju oleh sebuah Keputusan Tata Usaha Negara (Pihak ke-II) ialah 90 hari sejak Keputusan Tata Usaha Negara tersebut diterima, sedangkan bagi Pihak ke-III yang berkepentingan ialah 90 hari sejak sebuah Keputusan Tata Usaha Negara diumumkan. Akan tetapi karena belum ada suatu mekanisme yang formal tentang tata cara pengumuman suatu Keputusan Tata Usaha Negara, maka dalam prakteknya sebuah Keputusan Tata Usaha Negara berpotensi merugikan pihak ketiga karena tidak mengetahui terbitnya secara langsung suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Oleh karenanya, dalam rangka memberikan perlindungan hukum dan keadilan bagi Pihak Ke-III, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1991 tentang petunjuk pelaksanaan beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang pada pokoknya mengatur bahwa : bagi mereka yang tidak dituju oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara tetapi yang merasa kepentingannya dirugikan maka tenggang waktu sebagaimana dimaksud pasal 55 dhitung secara kasuistis sejak saat ia merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara dan mengetahui adanya keputusan tersebut.

Artinya, point SEMA Nomor 2 Tahun 1991 secara subtansi telah memperpanjang tenggang waktu untuk menggugat suatu Keputusan Tata Usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara, terutama oleh Pihak Ke-III. Hal ini mengingat adanya frasa sejak "merasa kepentingannya dirugikan", tidak serta-merta membatasi gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara hanya 90 (sembilan puluh) hari sejak diterbitkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara, tetapi juga bisa kapan saja ketika muncul kondisi ketika ada pihak merasa kepentingannya dirugikan.

Dasar Hukum Pengajuan Gugatan Adapun dasar pengajuan gugatan dalam Gugatan Tata Usaha Negara adalah merujuk pada Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata  Usaha  Negara, yang menyatakan bahwa alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:

a.      Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b.      Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan denganasas-asas umum pemerintahan yang baik;

 

 

NOVA SUKARDIANTO & PARTNERS

HP/WA: 0812 6765 1140