PEMBATALAN PERKAWINAN
Oleh:
NOVA SUKARDIANTO, S.H., M.H.
Pembatalan perkawinan merupakan upaya hukum yang dilakukan suami atau istri untuk membatalkan hubungan suami istri setelah dilangsungkannya perkawinan/pernikahan.
Menurut ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, menjelaskan bahwa Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Perkawinan dalam islam dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya yang telah digariskan oleh para fuqoha. Jika suatu perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syaratnya, maka perkawinan tersebut dinamakan fasid (rusak) dan jika tidak memenuhi rukun-rukun perkawinan disebut bathil (batal).
Syarat sah perkawinan masuk pada setiap rukun perkawinan. Setiap rukun perkawinan mempunyai syarat-syarat masing-masing yang harus terpenuhi. Rukun perkawinan ada 5 (lima) sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa:
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada:
a. Calon suami;
b. Calon isteri;
c. Wali nikah;
d. Dua orang saksi, dan;
e. Ijab dan Kabul.
Dalam ketentuan Pasal 71 huruf e Kompilasi Hukum Islam, menerangkan bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.
Dalam perkara pembatalan perkawinan peraturan perundang-undangan telah mengatur siapa-siapa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan tersebut, hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Junto Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam.
Dalam ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menerangkang bahwa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Kemudian dalam ketentuan Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah :
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang;
d. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.
Jika ditelisik lebih dalam ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Junto Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam, maka dapat disimpulkan:
1. Bahwa dalam hal perkawinan yang telah dilangsungkan terdapat tipu daya dan/atau penipuan (misalnya: menyembunyikan status baik suami ataupun istri) maka, yang lebih berhak mengajukan pembatalan perkawinan tentulah salah satu dari suami maupun istri yang merasa dibohongi;
2. Dalam hal perkawinan yang telah dilangsungkan yang menjadi wali nikahnya bukan orang yang berhak maka pembatalan perkawinan dapat diajukan oleh Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri.
2.1. Keluarga dalam garis lurus ke atas adalah Ayah dan Kakek
2.2. Keluarga dalam garis lurus kebawah adalah anak
Selain yang telah ditentukan oleh undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam orang yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan, maka muncul beberapa pertanyaan berkaitan dengan perkawinan yang dilangsungkan yang menjadi wali nikahnya adalah orang yang tidak berhak, adapun pertanyaan-pertanyaan tersebut diantaranya:
1. Apakah selain keluarga garis keturunan keatas (ayah dan Kakek) masih ada yang bisa mengajukan pembatalan perkawinan ?
2. Apabila walinya (ayah dan kakek telah meninggal dunia, atau ayah dan kakek beragama lain (non muslim) apakah bisa wali aqrab (dekat) lainnya sebagai pihak yang mengajukan pembatalan perkawinan ?
3. Apakah wali aqrab (dekat) lainnya termasuk pihak yang berkepentingan sebagaimana Pasal 73 huruf d Kompilasi Hukum Islam ?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas tentunya membutuhkan pemahaman yang mendalam sehingga dalam pengajuan permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan ke Pengadilan Agama khusus untuk yang beragama Islam permohonannya di Tolak atau dinyatakan tidak dapat diterima.
Untuk Informasi lebih lanjut silahkan hubungi:
NOVA SUKARDIANTO, S.H., M.H.
HP/WA : 0812 6765 1140
Tidak ada komentar:
Posting Komentar