DILEMA
PERCERAIAN
Oleh:
NOVA SUKARDIANTO, S.H., M.H.
Perceraian adalah putusnya ikatan
perkawinan dan/atau pernikahan antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan. Perceraian biasanya menyisakan beberapa permasalahan yang acap kali
menjadi rebutan kedua mantan pasangan suami istri selain Harta Bersama atau
lebih dikenal dengan istilah harta gono gini dan juga Hak asuh anak.
Dalam hal perebutan hak asuh anak,
masing-masing pihak atau mantan pasangan juga disertai dalil bahwa sang mantan
tidak becus dalam pengurusan anak.
Ketentuan mengenai hak asuh anak
sebagai salah satu akibat dari perceraian tidak diatur secara khusus, baik
dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan)
maupun Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan.
Adapun ketentuan yang mengatur tentang
hak asuh anak adalah Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menerangkan
sebagai berikut:
Dalam hal terjadinya perceraian :
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum
berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan
kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;
c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Dari ketentuan
Pasal 105 KHI diatas telah jelas dalam hal terjadinya perceraian secara
otomatis terhadap anak yang belum berusia 12 tahun hak asuhnya kepada ibu dan
biaya pengasuhannya ditanggung bapaknya dan/atau bisa dimintakan melalui
pengadailan untuk biaya pemeliharaan anak dibebankan kepada bapaknya.
Ketentuan Pasal
105 KHI tidak berlaku mutlak, dalam artian anak yang belum berumur 12 tahun
bisa diasuh atau dimintakan hak asuh oleh bapaknya apabila ibu sang anak
dianggap tidak layak dan/atau tidak patut untuk mengasuh anak dengan beberapa
alasan:
1. Menjadi
pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2.
Telah
meninggalkan pihak lain tanpa izin dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain di luar kemampuannya;
3.
Mendapat
hukuman penjara;
4.
Melakukan
kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
5.
Alasan-alasan
lain sehingga dikhawatirkan tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani
anak-anaknya.
Alasan-alasan
yang menerangkan ibu tidak layak dan/atau bisa kehilangan hak asuh anak ini
selaras dengan yurisprudensi Putusan
Mahkamah Agung RI No. 102 K/Sip/1973 tanggal 24 April 1975, yang menyatakan
sebagai berikut:
Berdasarkan yurisprudensi mengenai
perwalian anak, patokannya ialah bahwa ibu kandung yang diutamakan, khususnya
bagi anak-anak yang masih kecil, karena kepentingan anak yang menjadi
kriterium, kecuali kalau terbukti bahwa Ibu tersebut tidak wajar untuk
memelihara anaknya.
Namun demikian dalam hal
menentukan siapa yang layak atau patut untuk mendapatkan hak asuh anak umumnya
pengadilan mengutamakan untuk kepentingan terbaik bagi anak bukan kepentingan
kedua orang tuanya atau orang lain.
Informasi lebih lanjut silahkan
hubungi kami di:
NOVA SUKARDIANTO & PARTNERS
0812-6765-1140
Tidak ada komentar:
Posting Komentar