Senin, 07 Oktober 2019

DILEMA PERCERAIAN


DILEMA PERCERAIAN
Oleh:
NOVA SUKARDIANTO, S.H., M.H.

Perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan dan/atau pernikahan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Perceraian biasanya menyisakan beberapa permasalahan yang acap kali menjadi rebutan kedua mantan pasangan suami istri selain Harta Bersama atau lebih dikenal dengan istilah harta gono gini dan juga Hak asuh anak.

Dalam hal perebutan hak asuh anak, masing-masing pihak atau mantan pasangan juga disertai dalil bahwa sang mantan tidak becus dalam pengurusan anak.

Ketentuan mengenai hak asuh anak sebagai salah satu akibat dari perceraian tidak diatur secara khusus, baik dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) maupun Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan.

Adapun ketentuan yang mengatur tentang hak asuh anak adalah Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menerangkan sebagai berikut:

Dalam hal terjadinya perceraian :
a.      Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b.      Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;
c.      Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. 

Dari ketentuan Pasal 105 KHI diatas telah jelas dalam hal terjadinya perceraian secara otomatis terhadap anak yang belum berusia 12 tahun hak asuhnya kepada ibu dan biaya pengasuhannya ditanggung bapaknya dan/atau bisa dimintakan melalui pengadailan untuk biaya pemeliharaan anak dibebankan kepada bapaknya.

Ketentuan Pasal 105 KHI tidak berlaku mutlak, dalam artian anak yang belum berumur 12 tahun bisa diasuh atau dimintakan hak asuh oleh bapaknya apabila ibu sang anak dianggap tidak layak dan/atau tidak patut untuk mengasuh anak dengan beberapa alasan:
1.   Menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2.      Telah meninggalkan pihak lain tanpa izin dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
3.      Mendapat hukuman penjara;
4.      Melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
5.      Alasan-alasan lain sehingga dikhawatirkan tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak-anaknya.

Alasan-alasan yang menerangkan ibu tidak layak dan/atau bisa kehilangan hak asuh anak ini selaras dengan yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI No. 102 K/Sip/1973 tanggal 24 April 1975, yang menyatakan sebagai berikut:


Berdasarkan yurisprudensi mengenai perwalian anak, patokannya ialah bahwa ibu kandung yang diutamakan, khususnya bagi anak-anak yang masih kecil, karena kepentingan anak yang menjadi kriterium, kecuali kalau terbukti bahwa Ibu tersebut tidak wajar untuk memelihara anaknya.

Namun demikian dalam hal menentukan siapa yang layak atau patut untuk mendapatkan hak asuh anak umumnya pengadilan mengutamakan untuk kepentingan terbaik bagi anak bukan kepentingan kedua orang tuanya atau orang lain.


Informasi lebih lanjut silahkan hubungi kami di:
NOVA SUKARDIANTO & PARTNERS
0812-6765-1140