Kamis, 23 Juni 2022

KEABSAHAN PERKAWINAN BEDA AGAMA

 

PERKAWINAN BEDA AGAMA

Oleh

Nova Sukardianto, S.H., M.H.



 

Hukum positif tidak mengenal istilah perkawinan beda agama dan bahkan melarang perkawinan beda agama, dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengizinkan perkawinan beda agama, hal ini secara tegas dan jelas dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwasannya perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Secara hukum, perkawinan beda agama tidak sah. Adapun perkawinan yang dilaksanakan oleh orang yang berbeda agama bisa dilaksanakan apabila salah satu pihak “menundukkan diri” kepada keyakinan pihak lainnya.

Terdapat pro dan kontra terhadap frasa “menundukkan diri” kepada keyakinan pihak lain, bagi yang pro terhadap perkawinan beda agama frasa “menundukkan diri” tersebut diartikan hanya tunduk terhadap prosesi perkawinan dan tidak mesti pindah keyakinan yang penting perkawinan mereka diakui dan bisa dicatatkan, sedangkan bagi yang kontra terhadap perkawinan beda agama frasa “menundukkan diri” merupakan pengakuan secara keimanan terhadap keyakinan pihak lain tersebut dan/atau telah berpindah keyakinan kepada keyakinan pihak lain tersebut.

Dalam hal ini kita harus memahami dan harus bisa membedakan antara sahnya perkawinan dengan pencatatan perkawinan. Sah atau tidaknya suatu perkawinan ini lebih kepada ketentuan agama dan kepercayaan seperti yang termaktub dalam Pasal 2 ayat (1) undang-undang Perkawinan, dalam perspektif Islam pekawinan sah apabila memenuhi rukun dan syarat sahnya perkawinan (Kompilasi Hukum Islam BAB IV Rukun dan Syarat Perkawinan).

Sedangkan pencatatan perkawinan merupakan bagian dari administrasi kependudukan yang harus dilaksanakan oleh tiap-tiap orang yang melangsungkan perkawinan hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan yang menyatakan bahwa Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pencatatan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan kemudian diatur lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan yang menjelaskan bahwa:

1)     Perkawinan yang sah menurut Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan;

2)     Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan;

3)     Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing-masing diberikan kepada suami dan istri;

4)     Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang beragama Islam dilakukan oleh KUAKec;

5)     Data hasil pencatatan atas peristiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan dalam Pasal 8 ayat (2) wajib disampaikan oleh KUAKec kepada Instansi Pelaksana dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah pencatatan perkawinan dilaksanakan;

6)     Hasil pencatatan data sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak memerlukan penerbitan kutipan akta Pencatatan Sipil;

7)     Pada tingkat kecamatan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada UPTD Instansi Pelaksana.

Penataan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama islam dilakukan oleh pengawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan (pasal 2 (2) PP Nomor 9 tahun 1975). Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 sampai pasal 9 PP Nomor 9 tahun 1975.

Tujuan diadakan ketentuan pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah untuk menghindari konflik hukum antara hukum adat, hukum agama, dan hukum antar golongan. Sedangkan tujuan pencatatan perkawinan adalah: (1) menjadikan peristiwa perkawinan menjadi jelas, baik oleh yang bersangkutan maupun pihak lainnya, (2) sebagai alat bukti bagi anak-anak kelak kemudian apabila timbul sengketa, baik antara anak kandung maupun saudara tiri sendiri, dan (3) sebagai dasar pembayaran tunjangan istri atau suami, bagi pengawai negeri sipil (PNS).

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa Perkawinan beda agama tidak sah dan tidak diakui, dalam hal pencatatan perkawinan beda agama apabila salah satu pihak “menundukkan diri” kepada keyakinan pihak lainnya (non islam) maka perkawinannya tersebut bisa dicatatkan di Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil.

 

 

Sumber:

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.


Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.

Kompilasi Hukum Islam.

Nova Sukardianto, Aspek Hukum Pencatatan Perkawinan Menurut Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Bagi Orang Yang Beragama Islam, Tesis, 2019.