PERKAWINAN BEDA AGAMA
Oleh
Nova Sukardianto, S.H., M.H.
Hukum
positif tidak mengenal istilah perkawinan beda agama dan bahkan melarang
perkawinan beda agama, dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan tidak mengizinkan perkawinan beda agama, hal ini secara
tegas dan jelas dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwasannya “perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Secara
hukum, perkawinan beda agama tidak sah. Adapun perkawinan yang dilaksanakan
oleh orang yang berbeda agama bisa dilaksanakan apabila salah satu pihak “menundukkan
diri” kepada keyakinan pihak lainnya.
Terdapat
pro dan kontra terhadap frasa “menundukkan diri” kepada keyakinan pihak lain, bagi
yang pro terhadap perkawinan beda agama frasa “menundukkan diri” tersebut diartikan
hanya tunduk terhadap prosesi perkawinan dan tidak mesti pindah keyakinan yang
penting perkawinan mereka diakui dan bisa dicatatkan, sedangkan bagi yang
kontra terhadap perkawinan beda agama frasa “menundukkan diri” merupakan
pengakuan secara keimanan terhadap keyakinan pihak lain tersebut dan/atau telah
berpindah keyakinan kepada keyakinan pihak lain tersebut.
Dalam
hal ini kita harus memahami dan harus bisa membedakan antara sahnya perkawinan
dengan pencatatan perkawinan. Sah atau tidaknya suatu perkawinan ini lebih
kepada ketentuan agama dan kepercayaan seperti yang termaktub dalam Pasal 2
ayat (1) undang-undang Perkawinan, dalam perspektif Islam pekawinan sah apabila
memenuhi rukun dan syarat sahnya perkawinan (Kompilasi Hukum Islam BAB IV Rukun
dan Syarat Perkawinan).
Sedangkan
pencatatan perkawinan merupakan bagian dari administrasi kependudukan yang
harus dilaksanakan oleh tiap-tiap orang yang melangsungkan perkawinan hal ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan yang
menyatakan bahwa “Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Pencatatan
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan kemudian
diatur lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan yang menjelaskan bahwa:
1)
Perkawinan
yang sah menurut Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk
kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60
(enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan;
2)
Berdasarkan
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat
pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan;
3)
Kutipan
Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing-masing diberikan
kepada suami dan istri;
4)
Pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang beragama Islam dilakukan
oleh KUAKec;
5)
Data
hasil pencatatan atas peristiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan dalam
Pasal 8 ayat (2) wajib disampaikan oleh KUAKec kepada Instansi Pelaksana dalam
waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah pencatatan perkawinan
dilaksanakan;
6)
Hasil
pencatatan data sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak memerlukan penerbitan
kutipan akta Pencatatan Sipil;
7)
Pada
tingkat kecamatan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada
UPTD Instansi Pelaksana.
Penataan perkawinan dari
mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya itu
selain agama islam dilakukan oleh pengawai pencatat perkawinan pada kantor
catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai
pencatatan perkawinan (pasal 2 (2) PP Nomor 9 tahun 1975). Dengan tidak
mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan
perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara perkawinan
dilakukan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 sampai pasal 9 PP Nomor 9 tahun
1975.
Tujuan diadakan
ketentuan pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah untuk menghindari
konflik hukum antara hukum adat, hukum agama, dan hukum antar golongan.
Sedangkan tujuan pencatatan perkawinan adalah: (1) menjadikan peristiwa
perkawinan menjadi jelas, baik oleh yang bersangkutan maupun pihak lainnya, (2)
sebagai alat bukti bagi anak-anak kelak kemudian apabila timbul sengketa, baik
antara anak kandung maupun saudara tiri sendiri, dan (3) sebagai dasar
pembayaran tunjangan istri atau suami, bagi pengawai negeri sipil (PNS).
Berdasarkan
uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa Perkawinan beda agama tidak sah dan
tidak diakui, dalam hal pencatatan perkawinan beda agama apabila salah satu
pihak “menundukkan diri” kepada keyakinan pihak lainnya (non islam) maka
perkawinannya tersebut bisa dicatatkan di Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil.
Sumber:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukan.
Kompilasi
Hukum Islam.
Nova
Sukardianto, Aspek Hukum
Pencatatan Perkawinan Menurut Pasal 2
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Bagi Orang Yang Beragama Islam,
Tesis, 2019.