Jumat, 20 Maret 2020

MENANGGUNG BEBAN DUKA DAN DERITA



KEDUDUKAN ANAK LUAR NIKAH
Oleh:
Nova Sukardianto, S.H., M.H.

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah (Pasal 2 KHI).
Kata pernikahan dalam bahasa Indonesia identik dengan kata Perkawinan, yang secara bahasa (etimologi), adalah: 1). Membentuk keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau beristri; 2). Melakukan hubungan kelamin; 3). Bersetubuh (Ali Manshur, 2017: 41). Dalam bahasa Arab digunakan kata zawaj dan nikah.
Dalam hukum Islam perkawinan yang dikenal dengan istilah pernikahan pada dasarnya merupakan bagian dari rangkaian ibadah yang dianjurkan dalam Islam, ataupun hukum asalnya sunah, akan tetapi kondisi hukum tersebut sangat erat kaitannya kondisi mukallaf (pribadi muslim yang sudah dapat dikenai hukum atau orang yang telah dewasa dan tidak mengalami gangguan jiwa maupun akal) dalam beberapa aspek yang harus dilihat secara menyeluruh. Allah telah menciptakan makhluk dalam bentuk berpasangan sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran Surat Adz-Dzariyat: 49 yang berbunyi: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah” (Siska Lis Sulistiani, 2018: 21).
Salah satu tujuan dari pernikahan adalah untuk memperoleh anak atau keturunan, guna melangsungkan kehidupan.
Kehadiran seorang anak merupakan kebahagian dan kesejahteraan bagi seorang ibu maupun keluarganya karena anak merupakan buah perkawinan dan sebagai landasan keturunan. Anak sebagai fitrah Tuhan Yang Maha Esa perlu mendapatkan perawatan sebaik-baiknya dan merupakan tunas-tunas bangsa yang akan meneruskan cita-cita bangsa, yaitu mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur. Setiap anak dapat atau mampu memikul tanggung jawabnya dimasa depan, maka perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara normal baik jasmani, rohani maupun sosial (Rosnidar Sembiring, 2017: 116).
Anak merupakan generasi muda pewaris suatu bangsa. Suatu bangsa akan menjadi kuat, makmur dan sejahtera apabila generasi mudanya terbina, terbimbing, dan terlindung hak-haknya. Pembinaan anak merupakan tanggung jawab orang tua atau keluarga, masyarakat, sekolah dan pemerintah serta anak itu sendiri akan sangat menentukan kelangsungan hidup serta pertumbuhan dan perkembangan jasmani, rohani dan mental anak sebagai kader penerus perjuangan bangsa. Dalam proses pembangunan apabila tidak ada upaya perlindungan terhadap anak maka akan menimbulkan berbagaimasalah sosial dan ini akan mengganggu ketertiban dan keamanan negara.

Kedudukan anak diatur di dalam Undang-undang Perkawinan dalam Bab IX Pasal 42 sampai dengan Pasal 43. Masalah kedudukan anak ini, terutama adalah dalam hubungannya dengan pihak bapaknya, sedangkan dengan pihak ibu secara umum dapat dikatakan tidak terlalu susah untuk mengetahui siapa ibu dari anak yang dilahirkan tersebut. Untuk mengetahui ayah dari seorang anak masih dapat menimbulkan kesulitan. Bagi seorang ibu, anak dianggap selalu mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. Dengan bapak, anak tidaklah demikian. Anak tidak mempunyai hubungan hukum dengan pihak ayah yang telah membenihkannya (Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, 2004: 131).
Anak yang tidak memiliki hubungan hukum dengan pihak ayahnya sering sekali menjadi pergunjingan di masyarakat dengan memberi label sebagai anak haram, anak zina dan anak tidak sah. Berkaitan dengan anak sah Pasal 42 Undang-undang Perkawinan menjelaskan anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Dan anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Perkawinan).
Pentingnya mempersoalkan anak disebabkan karena berkaitan dengan hak-hak anak dikemudian hari seperti halnya warisan. Hukum waris Islam adalah aturan yang mengatur pengalihan harta dari seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hal ini berarti menentukan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, porsi bagian masing-masing ahli waris, menentukan harta peninggalan dan harta warisan bagi orang yang meninggal dimaksud (Rosnidar Sembiring, 2017: 196).
Dalam ketentuan Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dimaksud dengan hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa besar bagiannya masing-masing.
Adapun golongan-golongan ahli waris itu terbagi menjadi tiga: Orang-orang yang memiliki hubungan nasab (keturunan), orang-orang yang terkait dengan tali pernikahan dan orang-orang yang terikat dengan perwalian (karena memerdekakan budak) (Ibnu Rusyd, 2014: 676). Sedangkan menurut Pasal 174 KHI kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
a.    Menurut hubungan darah:
1.    Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek;
2.    Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.
b.    Menurut hubungan pekawinan terdiri dari duda dan janda.

Menurut ketentuan golongan ahli waris di atas anak yang dilahirkan diluar perkawinan tidak masuk kedalam golongan ahli waris karena memang anak yang dilahirkan diluar perkawinan tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya. Namun anak yang dilahirkan diluar perkawinan setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam pertimbangannya mahkamah menyatakan bahwa: Menimbang bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas maka Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” harus dibaca, Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
jika dikaji dalam perspektif hukum Islam, terhadap anak yang lahir diluar perkawinan tidak berhak mewarisi dari ayah biologisnya. Hal ini sesuai dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 11 tahun 2012 Tentang Kedudukan Anak Hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya.
Dalam Fatwa MUI tersebut menerangkan bahwa anak yang lahir diluar perkawinan tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, sehingga di dalam kewarisan Islam anak yang lahir diluar perkawinan tidak memiliki hak waris. Akan tetapi, untuk melindungi anak tersebut MUI melalui fatwanya mewajibkan ayah biologisnya untuk mencukupi kebutuhan hidup sianak (anak luar kawin) dan memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah. Melindungi sebagaimana dimaksud bukan untuk mensahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.


NOVA SUKARDIANTO & PARTNERS
0812 6765 1140