KEDUDUKAN ANAK LUAR NIKAH
Oleh:
Nova
Sukardianto, S.H., M.H.
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Perkawinan menurut
hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan
ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah
(Pasal 2 KHI).
Kata
pernikahan dalam bahasa Indonesia identik dengan kata Perkawinan, yang secara
bahasa (etimologi), adalah: 1).
Membentuk keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau beristri; 2). Melakukan hubungan
kelamin; 3). Bersetubuh (Ali Manshur, 2017: 41). Dalam bahasa Arab digunakan
kata zawaj dan nikah.
Dalam
hukum Islam perkawinan yang dikenal dengan istilah pernikahan pada dasarnya
merupakan bagian dari rangkaian ibadah yang dianjurkan dalam Islam, ataupun
hukum asalnya sunah, akan tetapi kondisi hukum tersebut sangat erat kaitannya
kondisi mukallaf (pribadi muslim yang
sudah dapat dikenai hukum atau orang yang telah dewasa dan tidak mengalami
gangguan jiwa maupun akal) dalam beberapa aspek yang harus dilihat secara
menyeluruh. Allah telah menciptakan makhluk dalam bentuk berpasangan
sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran Surat Adz-Dzariyat: 49 yang
berbunyi: “Dan segala sesuatu Kami
ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah” (Siska
Lis Sulistiani, 2018: 21).
Salah
satu tujuan dari pernikahan adalah untuk memperoleh anak atau keturunan, guna
melangsungkan kehidupan.
Kehadiran
seorang anak merupakan kebahagian dan kesejahteraan bagi seorang ibu maupun
keluarganya karena anak merupakan buah perkawinan dan sebagai landasan
keturunan. Anak sebagai fitrah Tuhan Yang Maha Esa perlu mendapatkan perawatan
sebaik-baiknya dan merupakan tunas-tunas bangsa yang akan meneruskan cita-cita
bangsa, yaitu mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur. Setiap anak
dapat atau mampu memikul tanggung jawabnya dimasa depan, maka perlu mendapat
kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara normal baik
jasmani, rohani maupun sosial (Rosnidar Sembiring, 2017: 116).
Anak merupakan generasi muda pewaris
suatu bangsa. Suatu bangsa akan menjadi kuat, makmur dan sejahtera apabila
generasi mudanya terbina, terbimbing, dan terlindung hak-haknya. Pembinaan anak
merupakan tanggung jawab orang tua atau keluarga, masyarakat, sekolah dan
pemerintah serta anak itu sendiri akan sangat menentukan kelangsungan hidup
serta pertumbuhan dan perkembangan jasmani, rohani dan mental anak sebagai
kader penerus perjuangan bangsa. Dalam proses pembangunan apabila tidak ada upaya
perlindungan terhadap anak maka akan menimbulkan berbagaimasalah sosial dan ini
akan mengganggu ketertiban dan keamanan negara.
Kedudukan anak diatur di dalam
Undang-undang Perkawinan dalam Bab IX Pasal 42 sampai dengan Pasal 43. Masalah
kedudukan anak ini, terutama adalah dalam hubungannya dengan pihak bapaknya,
sedangkan dengan pihak ibu secara umum dapat dikatakan tidak terlalu susah
untuk mengetahui siapa ibu dari anak yang dilahirkan tersebut. Untuk mengetahui
ayah dari seorang anak masih dapat menimbulkan kesulitan. Bagi seorang ibu,
anak dianggap selalu mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. Dengan bapak, anak
tidaklah demikian. Anak tidak mempunyai hubungan hukum dengan pihak ayah yang
telah membenihkannya (Wahyono
Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, 2004: 131).
Anak yang tidak memiliki hubungan hukum
dengan pihak ayahnya sering sekali menjadi pergunjingan di masyarakat dengan
memberi label sebagai anak haram, anak zina dan anak tidak sah. Berkaitan
dengan anak sah Pasal 42 Undang-undang Perkawinan menjelaskan anak sah adalah
anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Dan
anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Perkawinan).
Pentingnya mempersoalkan anak disebabkan
karena berkaitan dengan hak-hak anak dikemudian hari seperti halnya warisan.
Hukum waris Islam adalah aturan yang mengatur pengalihan harta dari seorang
yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hal ini berarti menentukan
siapa-siapa yang menjadi ahli waris, porsi bagian masing-masing ahli waris,
menentukan harta peninggalan dan harta warisan bagi orang yang meninggal
dimaksud (Rosnidar
Sembiring, 2017: 196).
Dalam ketentuan Pasal 171 huruf a
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dimaksud dengan hukum waris adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris menentukan siapa-siapa
yang berhak menjadi ahli waris dan berapa besar bagiannya masing-masing.
Adapun golongan-golongan ahli waris itu
terbagi menjadi tiga: Orang-orang yang memiliki hubungan nasab (keturunan),
orang-orang yang terkait dengan tali pernikahan dan orang-orang yang terikat
dengan perwalian (karena memerdekakan budak) (Ibnu Rusyd, 2014: 676). Sedangkan menurut
Pasal 174 KHI kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
a. Menurut
hubungan darah:
1. Golongan
laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan
kakek;
2. Golongan
perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.
b. Menurut
hubungan pekawinan terdiri dari duda dan janda.
Menurut
ketentuan golongan ahli waris di atas anak yang dilahirkan diluar perkawinan
tidak masuk kedalam golongan ahli waris karena memang anak yang dilahirkan
diluar perkawinan tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya. Namun
anak yang dilahirkan diluar perkawinan setelah Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam pertimbangannya mahkamah menyatakan bahwa:
Menimbang bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas maka Pasal 43 ayat (1) UU
1/1974 yang menyatakan, “Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” harus dibaca, Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan
laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga
ayahnya.
jika
dikaji dalam perspektif hukum Islam, terhadap anak yang lahir diluar perkawinan
tidak berhak mewarisi dari ayah biologisnya. Hal ini sesuai dengan Fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 11 tahun 2012 Tentang Kedudukan Anak Hasil
Zina Dan Perlakuan Terhadapnya.
Dalam Fatwa MUI tersebut
menerangkan bahwa anak yang lahir diluar
perkawinan tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, sehingga di
dalam kewarisan Islam anak yang lahir diluar perkawinan tidak memiliki hak
waris. Akan tetapi, untuk melindungi anak tersebut MUI melalui fatwanya
mewajibkan ayah biologisnya untuk mencukupi kebutuhan hidup sianak (anak luar
kawin) dan memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah. Melindungi sebagaimana dimaksud bukan untuk
mensahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan
kelahirannya.
NOVA SUKARDIANTO & PARTNERS
0812 6765 1140